JAKARTA – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose dalam rangka menyetujui 1 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif, Kamis (18/7/2024).
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif, yaitu terhadap tersangka Samosikha Buulolo alias Ama Kiri dari Kejaksaan Negeri Nias Selatan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan.
“Kronologi bermula saat korban Anolosa Nehe alias Ama Segar hendak pulang ke rumahnya yang berada di Desa Hilifalawu, Kecamatan Maniamolo, Kabupaten Nias Selatan dengan berjalan kaki. Kemudian di pertengahan jalan, Tersangka Samosikha Buulolo alias Ama Kiri menghampiri saksi korban dengan menggunakan sepeda motor dan menawarkan tumpangan, namun saksi korban menolak lalu tersangka tetap menawarkan tumpangan kepada saksi korban sampai akhirnya saksi korban menerima tawaran tersebut dan saksi korban pulang bersama tersangka,” urai Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Dr. Harli Siregar MH MHum.
Lanjutnya, di tengah perjalanan, tepatnya di pinggir jalan dekat gereja Katolik di Desa Hilifalawu, Kecamatan Maniamolo, Kabupaten Nias Selatan, tersangka dan korban harus turun dari motor dan mendorong sepeda motor tersebut, karena jalan yang menanjak kemudian tiba-tiba sepeda motor Tersangka jatuh menimpa kaki tersangka.
“Kemudian Tersangka Samosikha Buulolo alias Ama Kiri merasa emosi kepada saksi korban, lalu seketika itu tersangka langsung mendorong dada saksi korban menggunakan kedua tangannya dan saksi korban terjatuh ke dalam selokan/parit hingga pipi atas sebelah kiri saksi korban mengenai pinggir beton selokan/parit. Lalu, saksi korban keluar dari dalam selokan/parit dan berdiri dipinggir atas selokan/parit tersebut dan tersangka kembali menghampiri saksi korban dan mendorong dada saksi korban untuk kedua kalinya dengan menggunakan kedua tangan tersangka, sehingga saksi korban jatuh dan terguling sebanyak dua kali di jalan tanah yang berbatu kerikil sampai melukai dagu saksi korban, lalu gulingan badan saksi korban berhenti membentur tumpukan kayu balok dan mengenai pipi sebelah kanan dekat mata saksi korban,” sambungnya.
Mengetahui kasus posisi tersebut, lanjut Harli, Kepala Kejaksaan Negeri Nias Selatan Dr. Rabani M. Halawa, S.H., M.H. serta Kepala Seksi Pidum Arjuna Simanullang, S.H. beserta Jaksa Fasilitator Yafila Kania Irianto, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
“Dalam proses perdamaian, tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada korban. Setelah itu, korban menerima permintaan maaf dari tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan. Selain itu, tersangka juga sudah membayar biaya pengobatan kepada korban sebesar Rp3 juta rupiah. Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Nias Selatan mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Sumatera Utara Idianto, S.H., M.H. sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice,” papar Harli.
Selanjutnya, Jampidum Kejagung memerintahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Nias Selatan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (Bc)