JAKARTA – JAMPIDUM Prof Dr Asep N. Mulyana SH MHum mewakili Jaksa Agung dalam Seminar Nasional bertajuk “Konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA) Melalui Pemulihan Kerugian Negara dalam Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”.
Acara ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Borobudur bekerja sama dengan Justitia Training Center, bertempat di Aula Hotel Harper MT Haryono, Cawang, Jakarta, dan dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, praktisi hukum, mahasiswa, serta perwakilan instansi pemerintah dan swasta.
Seminar ini bertujuan untuk mengeksplorasi penerapan konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA) sebagai mekanisme alternatif dalam pemulihan kerugian negara, khususnya dalam kasus korupsi yang melibatkan korporasi. DPA dianggap sebagai solusi inovatif yang dapat memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dengan menekankan pada aspek pemulihan aset dan kerugian negara.
Selain Asep N. Mulyana, seminar ini juga menghadirkan narasumber lainnya, yaitu Prof. Dr. Surya Jaya, SH., M.Hum, Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan Dr. H. Achmad Sahroni, SE., M.I.Kom, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Acara dibuka dengan sambutan dari Prof. Dr. H. Faisal Santiago, SH., MM, Direktur Program Pascasarjana Universitas Borobudur, yang menekankan pentingnya diskusi akademis dan praktis dalam upaya memperkuat sistem hukum Indonesia. Seminar ini dimoderatori oleh Dr. Achmad Redi, SH., MH., M.Si dosen pada Universitas Borobudur.
Dalam paparannya, Asep N. Mulyana menjelaskan arah kebijakan penegakan hukum dan politik perundang-undangan pidana terkait implementasi DPA dalam sistem hukum Indonesia. Beliau menyoroti bagaimana DPA dapat diterapkan sebagai pendekatan korektif, restoratif, dan rehabilitatif yang tidak hanya berfokus pada pemidanaan, tetapi juga pada pemulihan kerugian negara melalui optimalisasi pemanfaatan aset. Beberapa elemen penting dari penerapan DPA yang dibahas antara lain:
Transformasi sistem penuntutan yang modern, efisien, dan terpadu untuk menghadapi kompleksitas kasus korupsi yang semakin berkembang, terutama yang melibatkan korporasi multinasional. Penguatan sistem pemulihan aset melalui mekanisme “follow the money” dan penyitaan aset terkait tindak pidana, sehingga negara dapat lebih efektif menelusuri dan mengambil kembali aset yang diperoleh dari hasil kejahatan.
Pendekatan restoratif dan rehabilitatif dalam penegakan hukum yang mengutamakan pemulihan bagi korban dan masyarakat serta rehabilitasi pelaku, sehingga penegakan hukum tidak hanya bersifat retributif tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi pemulihan kerugian negara. Selain itu, beliau menekankan pentingnya kebijakan hukum yang menempatkan sanksi administratif seperti denda sebagai alternatif yang lebih memberikan efek jera dibandingkan hukuman penjara, serta berkontribusi langsung pada pemulihan kerugian negara.
Dalam diskusi lanjutan, Prof. Dr. Surya Jaya membahas perspektif yudisial dalam penerapan DPA, termasuk tantangan hukum dan kebutuhan akan kerangka regulasi yang jelas untuk mendukung implementasi DPA di Indonesia. Beliau menekankan pentingnya regulasi hukum agar DPA dapat diterapkan tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana nasional. Sementara itu, Dr. H. Achmad Sahroni melalui video memberikan pandangan dari sisi legislasi, menggarisbawahi peran DPR RI dalam membentuk undang-undang yang memungkinkan penerapan DPA, yang menekankan perlunya kolaborasi antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam upaya pemberantasan korupsi.
Para narasumber sepakat bahwa penerapan DPA memiliki relevansi tinggi dalam konteks Indonesia, terutama dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan korporasi besar. DPA dapat menjadi alat efektif untuk mempercepat pemulihan kerugian negara dengan mendorong korporasi untuk bekerja sama dalam pengembalian aset tanpa melalui proses pengadilan yang panjang. Selain itu, DPA dapat mencegah dampak negatif pada ekonomi dengan menghindari likuidasi korporasi yang dapat berdampak pada ekonomi dan tenaga kerja, sekaligus memastikan akuntabilitas hukum.
Seminar Nasional ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam implementasi DPA di Indonesia sebagai bagian dari strategi nasional pemberantasan korupsi.
“Melalui forum ini, semoga seluruh pihak dapat bersama-sama mendorong implementasi Deferred Prosecution Agreement sebagai perubahan positif dalam sistem hukum demi tercapainya keadilan dan kemakmuran bagi bangsa,” tutup Asep N Mulyana.(Bc)