JAKARTA – Dalam rangka memperkuat sinergi antara lembaga penegak hukum di Indonesia, sebuah Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Memperkuat Koordinasi Penyidik-Penuntut Umum: Implementasi Petunjuk Berkas Perkara untuk Percepatan Proses Pra-Penuntutan” diadakan di Grand Kemang Hotel, Jakarta.
FGD yang diselenggarakan secara hybrid ini diinisiasi oleh Komisi Kejaksaan RI dan dihadiri unsur Kejaksaan, POLRI, advokat, praktisi hukum, dan akademisi yang bertujuan untuk membahas tantangan serta peluang dalam meningkatkan efisiensi sistem peradilan pidana, khususnya dalam prapenuntutan.
Dalam sambutannya, Dr. Heffinur, S.H., M.Hum., Komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, menegaskan pentingnya sinergi antara penyidik dan penuntut umum dalam mempercepat dan meningkatkan kualitas proses prapenuntutan.
Beliau menyatakan bahwa sistem peradilan pidana terpadu atau Integrated Criminal Justice System merupakan fondasi dalam mewujudkan penegakan hukum yang efisien, efektif, dan berkeadilan.
“Koordinasi yang efektif antara penyidik dan penuntut umum pada tahap prapenuntutan menjadi kunci dalam menciptakan proses peradilan yang efisien dan berkeadilan,” ujar Dr. Heffinur dalam keynote speech-nya.
Lebih lanjut, beliau mengingatkan bahwa landasan hukum bagi koordinasi ini sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Sebagai salah satu narasumber utama, Asep N. Mulyana Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) menyampaikan pandangannya terkait pentingnya koordinasi antara lembaga penegak hukum.
Beliau menekankan bahwa penyamaan persepsi dan peningkatan komunikasi antar lembaga merupakan kunci dalam menghindari berkas perkara yang bolak-balik dan mempercepat proses prapenuntutan.
“Dengan adanya pemahaman yang sama, kita dapat menciptakan proses yang lebih lancar, mengurangi kendala-kendala yang selama ini dihadapi, dan mampu melakukan penegakan hukum secara objektif ,” tambahnya.
Asep menegaskan bahwa penyamaan persepsi antara penyidik dan penuntut umum harus menjadi prioritas utama, mengingat pentingnya kerja sama yang efektif dalam mempercepat proses penyelesaian perkara.
“Selama ini, masalah terbesar yang kita hadapi adalah bolak-baliknya berkas perkara karena kurangnya koordinasi yang kuat. Kita harus memperbaiki komunikasi sejak awal penyidikan agar tidak ada kendala di tahap selanjutnya. Penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan sebagai kesatuan proses penegakan hukum merupakan tanggung jawab bersama sehingga jangan ada kompartemensi,” ujar Asep.
Dalam paparan lebih lanjut, Asep memberikan terobosan penting dengan mengusulkan implementasi berkas perkara elektronik.
Menurutnya, sistem digital ini akan menjadi solusi utama untuk mengatasi berbagai masalah yang selama ini menghambat proses prapenuntutan, seperti keterlambatan pengiriman berkas, ketidaklengkapan dokumen, serta kesalahan administrasi yang kerap terjadi.
“Dengan berkas elektronik, kita dapat memastikan transparansi yang lebih baik di setiap tahapan, sekaligus meningkatkan akuntabilitas aparat penegak hukum,” jelas Asep.
Ia menambahkan bahwa digitalisasi ini juga akan membantu dalam mempercepat proses pengiriman berkas dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan yang tidak diinginkan.
Selain membahas inovasi berkas elektronik, Asep menekankan perlunya reformasi dalam pola koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, yang selama ini dianggap masih bersifat sektoral dan kurang terpadu.
Menurutnya, pola kerja yang terkoordinasi sejak awal dapat meminimalisasi kesalahpahaman dalam hal kelengkapan berkas dan pemenuhan petunjuk dari jaksa.
“Sejak diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), jaksa dan penyidik harus sudah berkomunikasi secara intensif untuk memastikan bahwa berkas perkara akan siap sebelum dilimpahkan ke pengadilan,” tambah Asep.
Lebih jauh lagi, Asep menyoroti bahwa efektivitas implementasi Surat Edaran JAM Pidum SE-3/2020 telah memberikan dampak positif, namun masih perlu dilakukan evaluasi berkala.
“Kita perlu terus mengevaluasi penerapan kebijakan ini untuk memastikan bahwa tidak ada kendala teknis yang menghambat proses prapenuntutan. Setiap hambatan yang muncul harus segera ditangani agar proses penanganan perkara bisa berjalan lebih lancar,” jelasnya.
Selain itu, Asep menekankan pentingnya pelatihan terpadu bagi aparat penegak hukum, baik jaksa maupun penyidik, untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan mereka dalam menangani perkara.
Ia menyarankan agar pelatihan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga melibatkan aspek strategis yang dapat meningkatkan kualitas koordinasi antar lembaga.
“Pelatihan terpadu yang melibatkan jaksa dan penyidik dalam satu forum akan memperkuat pemahaman bersama terkait peran dan tanggung jawab masing-masing. Ini adalah salah satu cara untuk meminimalisasi kendala yang timbul karena perbedaan interpretasi hukum atau prosedur,” ujar Asep.
Menurutnya, dengan pemahaman yang lebih baik dan komunikasi yang lebih intensif, masalah bolak-baliknya berkas perkara dapat ditekan secara signifikan.
Selanjutnya, BJP. Boy R. Simanjuntak, S.I.K., M.Si., perwakilan dari Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, juga memberikan pandangannya berdasarkan data mengenai jumlah perkara yang ditangani oleh Polri selama dua tahun terakhir. Dia menekankan pentingnya pengiriman berkas perkara yang tepat waktu dan sesuai kelengkapan materiil.
Boy mengakui bahwa salah satu tantangan terbesar dalam proses prapenuntutan adalah ketidaklengkapan materiil berkas perkara yang sering menjadi penyebab berkas dikembalikan oleh jaksa.
Ia mendukung usulan Asep untuk mempercepat pengiriman berkas dan memastikan kelengkapan dokumen melalui digitalisasi sistem teknologi informasi, seperti sistem manajemen perkara terintegrasi (SPPT-TI), sehingga kendala-kendala yang dihadapi dapat diatasi.
Tidak hanya itu, Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, SH, LL.M, Ketua Umum DPN Peradi, menambahkan pentingnya peran advokat dalam memperkuat koordinasi antara penyidik dan penuntut umum.
Menurut Luhut, advokat bisa menjadi jembatan komunikasi untuk menyelesaikan potensi konflik atau perbedaan interpretasi antara kedua pihak, sehingga proses prapenuntutan bisa berjalan lebih lancar tanpa penundaan yang berlarut-larut.
“Advokat, sebagai pihak yang memiliki akses ke tersangka dan penuntut, dapat membantu mengurangi kendala yang sering kali timbul akibat kurangnya komunikasi antar lembaga penegak hukum,” ujar Luhut.
Lebih lanjut, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, guru besar Universitas Indonesia, menambahkan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia masih terfragmentasi.
Menurutnya, masing-masing lembaga penegak hukum seringkali berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang baik, sehingga hal ini menyebabkan hambatan dalam menyelesaikan perkara.
“Kita perlu menyelaraskan hubungan antar lembaga penegak hukum, dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga pemasyarakatan, mengingat KUHP Baru akan segera berlaku, sehingga idealnya KUHAP juga perlu segera dibahas. Tanpa sinergi dalam hukum acara, proses peradilan tidak akan berjalan efektif,” tegas Harkristuti.
Sebagai penutup, Asep kembali menekankan bahwa prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan harus menjadi landasan utama dalam setiap upaya perbaikan proses prapenuntutan. Prinsip ini tercantum dalam KUHAP dan harus selalu diingat oleh setiap aparat penegak hukum.
Menurutnya, setiap penundaan dalam proses penegakan hukum tidak hanya mengganggu jalannya peradilan, tetapi juga merugikan masyarakat yang mencari keadilan.
“Jaksa memiliki peran sebagai dominus litis atau pengendali perkara, dan peran ini harus dioptimalkan. Saya yakin, dengan langkah-langkah strategis ini, kita dapat menciptakan sistem peradilan yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih berkeadilan untuk semua pihak,” tutup Asep.(bc)